Kadang hidup butuh imajinasi negeri dongeng

Rabu, 23 Juni 2021

Zero Waste Lifesyle

Apa yang terbersit dalam benak kalian ketika mendengar Zero Waste Lifestyle atau pola hidup minim sampah? Pasti cara buat mengurangi sampah plastik bukan? Padahal jika dipahami lebih mendalam zero waste lifestyle bukan hanya tentang plastic, walaupun saling berkait. Kali ini kita bakal kupas satu per satu fakta menarik seputar pola hidup minim sampah ini.

Zero waste muncul pada awal revolusi industri ke 2 atau tahun 70-an. Istilah zero waste justru muncul dari kalangan industri yang menghasilkan limbah dan berusaha untuk mengolahnya sehiingga seminimal mungkin membuang sisa limbah tersebut. Pada awal tahun 2000-an zero waste kemudian diangkat sebagai gaya hidup oleh beberapa kalangan. Hingga saat ini zero waste sudah menyebar di seluruh dunia dan sedang menjadi tranding diikuti banyak orang.

Gaya hidup zero waste adalah cara pandang seseorang terhadap lingkungan, barang, segala hal yang digunakan dan dikonsumsi, serta bagaimana memandang dirinya sendiri. Seseorang yang menerapkan zero waste lifestyle harus lebih kritis dan bijak lagi dimulai saat membeli sesuatu.

Ada beberapa miskonsepsi (stereotype) atau asumsi yang kurang tepat di kalangan masyarakat jika berbicara tentang zero waste lifestyle atau gaya hidup minim sampah. Berikut beberapa stereotype yang kurang tepat tersebut.


1. Zero Waste Lifestyle Dianggap sebagai Tren Anti Plastik

Gaya hidup Zero Waste atau minim sampah sering dianggap sebagai gaya hidup anti plastik.  Semua yang serba plastik adalah musuh nomor satu dan solusi utamanya mengganti dengan perkakas berbahan stainless steel, bamboo, atau kaca. Padahal tidak demikan.

Seperti halnya plastik yang butuh energi besar dan berasal dari minyak bumi yang tidak terbarukan, ada juga penggalian pasir besar-besaran dibalik kaca, ada industri nikel di balik stainless steel, ada ancaman deforestasi di balik bamboo dan kantong plastik berbahan singkong. Semua ada dampaknya tidak hanya plastik.

Zero waste lifestyle mengedepankan anti plastik sekali pakai, bukan menuju anti (semua jenis) plastik. Kalau tidak ada plastik, kita tidak bisa berkomunikasi (ya, di dalam handphone juga ada plastik), tidak bisa berkendara, dan lain-lain. Dalam bidang medis, plastik juga sangat berguna dan sangat membantu. Tanpa tabung plastic atau pipet dunia medis akan sulit untuk melakukan penelitian. Plastik juga berguna di berbagai industri dari pengemasan, bangunan, konstuksi, otomotif, elektronik dan kelistrikan, juga industri lainnya.

Jadi bukan kita menyingkirkan plastik sama sekali, tapi kita harus mengubah cara berpikir dan perilaku kita (yang serba instan, tidak peduli dengan akhir hidup dari barang yang kita gunakan, dll). Kembali lagi pilihan ada pada diri kita masing-masing. Lebih bijak jika kita bisa menahan diri dari over-consuming dan impulsive shopping. Beli barang hanya ketika butuh, bukan trend semata. Pun lebih bijak dalam menggunakan segalas sesuatu, pakai ulang segala perkakas yang kita punya.


2. Zero Waste Lifestyle Mahal

Berkaitan juga dengan miskonsepsi pertama tadi, seringkali gaya hidup zero waste atau minim sampah dianggap mahal karena harus mengganti semua perkakas ke bahan selain plastik, harus perkakas yang baru. Padahal gaya hidup zero waste juga mengajak untuk pakai ulang atau gunakan kembali.

Zero waste bukan berarti membeli barang-barang baru untuk menggantikan barang lama. Namun belajar berhenti untuk membeli sesuatu yang sudah punya, apalagi hanya sekali pakai. Menerapkan gaya hidup zero waste bukan hanya tentang mengurangi produksi sampah, namun juga memanfaatkan barang yang sudah kita miliki secara maksimal, serta menjadi konsumen sadar dan lebih bijak lagi.

Misalnya, untuk bahan anorganik kamu bisa memanfaatkan kembali toples-toples wadah cookies  untuk digunakan ulang sebagai wadah camilan atau mungkin wadah barang lainnya. Untuk bahan organik kamu bisa menghemat biaya untuk pembersih lantai dan kaca dengan mengolah konsumsi buahmu menjadi ecoenzym. Selain itu tadi, kamu bias cek lagi isi rumahmu, kumpulkan dan gunakan barang-barang yang sudah ada yang bisa menjadi alternatif dan juga menunjang dalam menjalankan gaya hidup minim sampah. Atau dengan sedikit kreativitas, kamu bisa membuat produk baru dari barang yang sudah tidak terpakai, menarik, kan?

Memulai gaya hidup zero waste itu dari yang ada di rumah. Jika tidak ada dan sangat butuh, baru beli. Jika ada kontainer plastik, botol minum reusable bahan plastik seperti Tupperware, gunakan saja. Tidak perlu beli baru.


3. Zero Waste Lifestyle Ribet

Banyak yang bilang gaya hidup zero waste atau minim sampah itu ribet, susah untuk dilakukan, dan merepotkan. Apalagi penggunaan kata ‘zero’ seakan menuntut kita untuk menerapkan secara sempurna.

Kemana-mana bawa tumbler, bawa stainless straw, bawa wadah makan (container sendiri), bawa pouch, bawa tote bag untuk wadah. Kok banyak ya starter pack buat ikutan jadi zero waste. Seringkali itu juga yang membuat seseorang tidak bisa konsisten dalam menerapkan gaya hidup zero waste, karena dianggap ribet. Apalagi dalam kehidupan sehari-hari, rasanya sulit sekali untuk terhindar dari jeratan kebiasaan penggunaan plastik sekali pakai.

Kita tidak perlu berpikir serumit itu, kawan. Mulai dari hal yang paling sederhana, bawa satu barang saja tiap keluar rumah, tumbler! Multifungsi loh ini. Pertama, untuk hemat dari jajan yang tidak bisa ditahan. Kedua, menghindari botol plastik air mineral yang sekali pakai. Ketiga, menjaga agar tetap minum air mineral bukan yang air rasa-rasa yang macam-macam. Tiga manfaat dalam satu aktivitas kecil.

Kemudian ketika kamu ada yang suka minum di coffe shop atau tempat nongki lainnya dan ingin mengurangi penggunaan sedotan plastik tidak perlu repot-repot beli straw yang berbahan stainless, kaca, atau bambu. Cukup gunakan cara lama dengan meminumnya langsung dari gelas, atau ‘dikokop’.

Harus diingat bahwa zero waste adalah sebuah proses. Tidak bisa terbentuk dalam waktu singkat. Jadi nikmati prosesnya tanpa perlu menyiksa diri. Bila kita tidak bisa menerapkan ‘zero’ waste atau sama sekali tidak menghasilkan sampah kita bisa pelan-pelan menerapkan less waste atau minim sampah. Karena kita tidak butuh satu orang yang sempurna untuk menerapkannya, tapi kita butuh banyak orang tidak sempurna yang saling mengingatkan.


4. Social Justice Warriors (SJW)

Stop memberi komentar: “Katanya Zero Waste, kok masih pakai tumbler bahan plastik, kok masih pakai kontainer plastik, dan lain-lain”. Karena nyatanya bahan-bahan tersebut jika digunakan dengan bijak bisa berumur sangat panjang.

Plastik hanyalah sebuah benda yang sebenarnya sangat berguna untuk kehidupan kita sehari-hari. Masalahnya terletak pada nilai yang kita berikan pada plastik. Jika kita menghargai plastik seperti kita menghargai batu intan, orang tidak akan menggunakannya sebagai barang sekali pakai. Plastik bukanlah penyebab polusi lingkungan. Penyebabnya adalah perilaku dan cara kita menggunakannya.

Ketika awal-awal menerapkan pola hidup zero waste atau minim sampah pasti banyak orang mungkin akan menganggap aneh, memandang sebelah mata pada kita. Tapi teruslah bergerak, teruslah memberikan edukasi dengan ringan. Diperlukan kemampuan dan komitmen yang kuat dari tiap individu untuk berubah dan mengurangi penggunaan plastik.

 

Itulah sedikit miskonsepsi dan pandangan dari masyarakat bagi para pelaku zero waste lifestyle. Mungkin kamu juga pernah mengalaminya. Tapi jangan berhenti dengan pendapat orang lain. Teruslah menginspirasi dengan caramu yang sederhana. Untuk kita dan bumi kita. 💚🌳🌏

Share:

Minggu, 10 Januari 2021

Perjuangan Intelektual Kaum Terpelajar

 Bicara tentang pergerakan mahasiswa tentu bicara tanggung jawab yang melekat di dalam diri seseorang yang menyandang gelar sebagai mahasiswa. Mahasiswa di pandang sebagai kaum elite, dengan pendidikan tinggi yang sedang dicicipinya. Selain tanggung jawab akademik ada juga tanggung jawab sosial tanggung jawab sosial yang ada di pundak para mahasiswa. Adanya tanggung jawab ganda yang didapatkan mahasiswa tersebut seharusnya menumbuhkan kesadaran bahwa tugas seorang mahasiswa tidak hanya menuntut ilmu di kelas dan mencari nilai untuk sekedar lulus tetapi juga bisa menjadi solusi di tengah persoalan masyarakat.

Kelas mahasiswa berada di tengah, dia akan bersinggungan dengan kepentingan rakyat kecil dan penguasa. Sebagai kaum intelektual tentu mahasiswa menjadi harapan dan tumpuan untuk terus memperjuangkan hak-hak rakyat yang kadang tidak sesuai dengan kebijakan yang diterapkan oleh penguasa. Mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat juga tidak pragmatis dalam menyampaikan gagasan dan aspiraasi. Sebagai kaum intelektual yang terdidik tentu dalaam mencari sebuahsolusi harus ada kajian yang mendalam sehingga nanti dapat merumuskan sebuah solusi strategis dan ideologis yang bisa ditawarkan kepada penguasa untuk diaplikasikan.

Jangan pandang mahasiswa tidak bisa merumuskan sebuah solusi atas permasalahan sosial yang ada. Mereka bisa membuat kelompok-kelompok kajian dengan berbagai pihak sesuai dengan disiplin ilmunya. Kampus sebagai lembaga pendidikan tinggi tentu penuh dengan berbagai pergulatan intelektual dan ideologi sehingga sangat cocok untuk menjadi basis kajian dalam merumuskan sebuah solusi yang akan disampaikan. Pandanglah permasalahan dari banyak sudut bukan hanya dari perspektif kaum intelektual.

Ada sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik ketika mendapat pertanyaan, “Untuk apa sih demo gak jelas?”. Mungkin jika yang bertanya demikian mahasiswa yang hanya kuliah di dalam kelas dan tidak pernah aktif di dunia organisasi aku akan memaklumi, tetapi yang bertanya adalah mahasiswa yang juga aktivis organisasi.

Selama ini kita mendengar aksi demonstrasi yang terbayang adalah longmarch di jalan, berkoar-koar di bawah terik matahari, bakar bam di tengah jalan, merusak fasilitas umum, atau dibubarkan paksa lewat gas air mata. Tentu aksi demonstrasi tidak sesempit itu. Ada makna yang lebih luas terkait aksi demonstrasi terutama oleh mahasiswa, sarekat buruh, dan organisasi pergerakan lainnya.

Aksi demonstrasi merupakan sebuah langkah strategis untuk menyampaikan tuntutan, kritikan, aspirasi, dan solusi ketika berbagai langkah-langkah sebelumnya menemui kegagalan seperti dialog dan audiensi dengan pihak berwenang. Aksi demonstrasi sebagai upaya akhir dalam memperjuangkan apa yang menjadi harapan. Tidak hanya berorasi koar-koar tanpa makna, tetapi dalam aksi demonstrasi juga membawa sebuah hasil perumusan kajian yang panjang serta mendalam. Aksi demonstrasi juga berarti sebagai sikap keberpihakan kepada kaum yang tertindas sehingga peran sebagai oposisi kritis terhadap penguasa akan terus hidup. Namun sekarang, aksi demonstrasi mendapat cemoohan dan tidak mendapat simpati publik karena bagi mereka papun yang dilakukan toh hasilnya sama saja. Padahal kita tahu bahwa perubahan yang besar berawal dari pergerakan yang kecil.

Dalam era demokrasi saat ini, ketika kebebasan berpendapat semakin luas maka akses informasi perkembangan situasi terkini akan mudah didapatkan. Kondisi tersebut seharusnya menjadikan mahasiswa lebih melek kondisi bangsa yang terjadi saat ini. Sebagai mahasiswa tentu kita punya peran dan passion masing-masing, tidak bisa kita sama ratakan semua. Mahasiswa tidak hanya kuliah di dalam kelas tetapi dia juga bisa kuliah dengan menembus batas-batas ruang kelas seperti aktif organisasi atau kompetisi. Ada mahasiswa yang lebih tertarik terhadap dunia pergerakan maka dia mengembangkan intelektualitasnya dengan membaca, menulis, dan berdiskusi terkait sosial politik, ada juga yang tertarik di dunia akademik dengan mebuat karya ilmiah dan terjun dalam aktivitas sosial masyarakat. Setiap mahasiswa harus mempunyai peran di bidangnya masing-masing dan dengan cara mereka masing-masing. Apapun narasi yang disampaikan muara tujuan yang hendak kita capai sma, kesejahteraan. Mari saling menguatkan agar apa yang menjadi cita-cita bersama kita segera menemui jalannya.

Share:

Pemerataan Pendidikan di Indonesia: Persebaran Guru

 

Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang bersifat umum bagi setiap manusia di muka bumi ini. Fungsi pendidikan sebagai wahana untuk memajukan bangsa dan kebudayaan nasional, pendidikan diharapkan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan. Di Indonesia, tidaklah menjadi hal yang tabu bahwa pada bidang pendidikan mengalami banyak permasalahan.

Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).

Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia terus mendapat sorotan. Pasalnya, mutu pendidikan yang rendah ini bukan tanpa alasan. Masalah pendidikan yang terus menumpuk menjadi alasan mendasar rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Salah satu masalah pendidikan yang juga harus dipikirkan solusinya yaitu tentang pemerataan dan penataan jumlah guru yang masih terjadi kesenjangan, khususnya antara jumlah guru yang berada di daerah kota dengan daerah desa bahkan di daerah terpencil. Ironisnya, di daerah desa atau di daerah terpencil masih banyak sekolah yang kekurangan guru. Tak jarang satu guru harus mengajar lebih dari satu mata pelajaran. Padahal, itu tidak diperbolehkan karena menyangkut tentang keprofesionalan sebagai guru. Namun tidak dapat disalahkan juga mungkin itu terjadi karena keadaan yang menuntut mereka seperti itu. Berbanding terbalik dengan keadaan sekolah di kota , lebih dari 50% sekolah di kota justru kelebihan guru.

Dunia pendidikan seperti kereta kuda, kecepatan sampai tujuan tidak ditentukan oleh kuda yang tercepat tetapi ditentukan kuda terlambat. Pendidikan di negeri ini juga ditentukan oleh sekolah-sekolah yang minim fasilitas di ujung-ujung pulau, di pinggir sungai, di puncak gunung. Banyak orang mendidik dengan hati, dan dengan jiwa raga yang mereka miliki. Gaji gurupun ada yang hanya cukup untuk 1 kali pulang pergi.

Guru memang bukan hanya sebagai profesi tapi itu juga bagian dari pengabdian. Guru profesional adalah guru yang memiliki dedikasi tinggi dalam pendidikan, tanpa dedikasi tinggi maka proses belajar mengajar akan kacau balau. Proses belajar menagajar yang berlangsung di dalam kelas dapat ditemukan beberapa komponen yang bersama-sama mewujudkan proses belajar mengajar yang dapat juga dinyatakan sebagai struktur dasar dalam proses belajar mengajar. Guru sebagai pendidik dan murid sebagai peserta didik dapat saja dipisahkan kedudukannya, akan tetapi mereka tidak dapat dipisahkan dalam mengembangkan murid dalam mencapai cita-citanya.

Oleh karenanya perlu adanya solusi untuk permasalahan yang diri tahun ke tahun belum terselesaikan ini. Agar Indonesia dapat mewujudkan salah satu cita-cita kemerdekaan nasional, yaitu mencerdaskan bangsa Indonesia.

Share:
Blue Fire Pointer

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.