Sebuah cerita pendek, tentang diskusi isi pikiran dua anak manusia
“Kadang aku heran dengan negara ini, Zi!” Kata Nuri yang sedari tadi menatap ke arah yang sama.
“Memang kenapa, Ri?” tanya Zidan sambil menatap wajah Nuri.
“Negara ini tak cukup baik untuk orang baik,” jawab Nuri.
“Kenapa kamu bisa berfikir demikian, Ri? Menurutku negara ini hebat kok,” jawab Zidan tak setuju.
“Itu masalah kamu, Zi! Kamu selalu memandang dari arang positif, tak ingin menoleh ke arah yang lain. Coba bayangkan, Zi, banyak orang jenius di negeri ini bahkan mereka kebanyakan berasal dari keluarga kurang mampu, mereka terus berusaha untuk menjadi yang terbaik tiap harinya, tapi kenyataannya apa? Sebagian mereka lebih memilih untuk ke luar negeri karena gagasannya di negara ini dianggap aneh dan nggak masuk akal, atau mungkin anak-anak cerdas ini tak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan yang mereka miliki karena keterbatasan ekonomi sehingga berhenti ditengah jalan. Coba hitung berapa banyak orang cerdas yang di tending dari negara ini. Berapa banyak orang bekerja di tempat kasar,” bola mata Nuri kini beradu dengan bola mata Zidan, nada suaranya meninggi seolah ia ingin meyakinkan Zidan tentang sesuatu.
“Ri, kamu juga nggak bisa nyalahin negara ini gitu aja dong! Mungkin Tuhan punya rencana dengan semua itu. Orang yang bekerja di luar negeri dengan kehebatannya bisa membuat bangga negara ini kan di kancah Internasional. Atau orang cerdas yang nyasar jadi pekerja kasar, mungkin mereka sangat dibutuhkan dalam pekerjaan itu, dan akan menjadi orang sukses dalam bidang itu,” jawab Zidan santun.
“Oke, Zi, kalau kamu berfikir demikian. Aku bisa memaklumi hal itu. Lantas bagaimana dengan zina dan maksiat yang merajalela di dunia ini dan negara ini pula yang seolah orang-orang menganggap itu hal biasa dan wajar?” tanya Nuri kembali.
“Maksudnya?” Zidan tidak mengerti.
“Pacaran. Kamu juga tahu sendirikan, negara ini seolah menghalalkan yang namanya pacaran. Lalu jika kejadian terburuk menimpa salah satu pihak terutama wanita, ia lantas dicemooh dan tak mendapat respon positif dari masyarakat. Orang yang tidak punya pacar hingga menginjak usia dewasa ia akan dianggap kuno. Orang tua yang melihat anaknya tidak punya pacar di umur yang mengkhawatirkan menurut mereka malah dicarika pacar oleh orang tuannya. Orang Islam yang berjilbab, yang dianggap sholeh dan sholehah pun bisa bergandeng tangan dengan biasanya dengan orang yang bukan makhromnya. Apa komentar kamu tentang kejadian yang miris ini? Apa kamu masih membela negara ini?” kata Riri yang menatap ke arah yang sama seperti tadi.
Zidan terdiam. Ia hanya memandang sepupunya ini. Dunianya sulit ditebak orang. Dari kecil ia dianggap aneh oleh orang disekitarnya. Ia selalu mempunyai prinsip yang berbeda dengan orang lain. Orang tuanya mengajarkan ia tentang agama, agar ia selalu taat dengan Tuhannya. Nuri tumbuh menjadi gadis nan lugu tapi juga kritis.
Tidak terasa lima belas menit sudah mereka duduk bersebelahan dengan kebisuan diantara mereka. Sejak kalimat terakhir yang diucapkan Nuri dan arah tatapan Nuri yang masih sama sedari tadi Zidan mencoba mencari dan menafsirkan, apa yang sedang Nuri lihat dan fikirkan. Mata Zidan menoleh kesana kemari melihat orang-orang yang ada di Taman Pasoepati sore itu. Para orang tua yang menemani anaknya jalan-jalan dengan penuh kasih sayang yang terpancar dari wajah dan senyum mereka, orang-orang yang lalu lalang dengan asik memainkan gadget mereka, segerombolan pemuda yang asik dengan hobi mereka, berpasang-pasang muda-mudi yang sedang asik pacaran, atau para mojang yang menunggu seseorang, mungkin pula menunggu pacar mereka.
Fikiran Zidan telah terbawa ke dunia Nuri. “Iya, memang ada yang tidak beres dari negara yang baik ini. Tapi tidak semua,” katanya dalam hati.